14 Maret 2009

Masmundari Tidak Ngawur



Saya dan Anda yang bukan pelukis atau yang ngerti lukisan mungkin bingung melihat lukisan Damar Kurung. Sebuah lukisan yang dihasilkan seorang pelukis berumur 100 tahun lebih tapi coretan yang dihasilkan lebih mirip lukisan anak-anak. Warna yang digunakan juga warna dasar khas anak-anak, kuning, merah, hijau dll. 
Belum lagi kalau melihat beberapa elemen lukisannya yang aneh dan mbingungi. Ada gambar anak naik sepeda tapi di langit atau bandeng yang bertumpuk-tumpuk sampai setinggi orang. Atau dremulen alias komedi putar, orang yang paling atas digambar duduk dengan kursi dan badannya terbalik. Jadi kepalanya di bawah. Atau macam-macam lainnya.
Seperti yang saya bilang Mbah Masmundari tidak ngawur dan bukan pelukis kampungan. Mbah melukis dengan konsistensi tinggi terhadap style, aliran dan pakem damar kurung yang orisinil. Sejatinya damar kurung itu adalah warisan budaya seni lukis yang bener-bener berakar dari jaman baheula. Jaman di mana orang membuat candi. Kalau Anda sudi melototi batu di relief dinding candi tentu bakal menemukan karakter yang sama dengan damar kurung. Teknik melukisnya tidak jauh beda. Anda bakal menemukan orang yg digambar di awang-awang, miring, terbalik dan lain-lain.
Seperti komentar Jakop Soemardjo, budayawan dan staf pengajar Pendidikan Pasca Sarjana Fakultas Senirupa dan Desain ITB : “Dengan singkat, gambar-gambar damarkurung Masmundari mengandung rekaman budaya Indonesia sejak prasejarah sampai zaman Islam di Jawa. Karya-karya Masmundari adalah fosil budaya”.
Dalam bagian lain Jakop juga mengungkapkan bahwa hanya didapatkan seorang pelukis saja yang tersisa (Masmundari –red). Ini juga merupakan suatu keajaiban. Masmundari tentulah salah satu keturunan dari nenek moyang warga Mojopahit.
Damar kurung itu dulunya memang merupakan kerajinan lampion berbentuk nyaris kubus dari bahan kerangka bambu dan ditutup kertas. Lampion ini memang dipakai sebagai mainan anak-anak waktu bulan puasa. Makanya dijual pada saat orang-orang berziarah makam di awal bulan ramadlan. Di nggersik ritual ini dinamai padusan bukan megengan. Yang berakar dari kata adus, dimaksudkan untuk menandai kegiatan mandi yang dilakukan untuk membersihkan diri menghadapi bulan Ramadlan. Kalau megengan saya dak ngerti, metengan ngerti.
Damar Kurung dulunya dijual di dua tempat. Satu di pintu masuk Makam Umum Telogo Pojok, satunya di perempatan menuju pelabuhan. Namun akhir-akhir ini hanya di jual di pintu makam.
Damar berarti lampu dan kurung berarti selubung. Tapi kurungan yang dibuat menutupi lampu tadi dilukis dengan warna-warna menarik. Tema lukisannya berkisar kegiatan ramadlan seperti tarawih, tadarus, pasar bandeng dan idul fitri.
Damar kurung terdiri dari 4 sisi kubus, kanan, kiri, depan dan belakang. Masing-masing sisi terbagi dalam dua atau tiga segment dari atas ke bawah. Masing-masing segment menyajikan cerita yang berbeda tapi dalam satu sisi punya tema dasar yang sama.
Damar kurung juga terbagi menjadi 2 jenis tema lukisan. Yang pertama jenis lukisan sakral. Yakni lukisan yang menceritakan legenda, upacara adat, upacara keagamaan atau jenis ritualitas lainnya. Yang kedua jenis profan. Yaitu lukisan yang menceritakan kehidupan sehari-hari. Seperti lukisan yang berjudul Tujuhbelasan, Pasar Bandeng, Mbok Omah Melu KB, Proyek, dll.
Cara membaca kedua jenis lukisan ini berbeda. Tapi kalau semua saya tulis disini bisa penuh page ini, kasihan yang lain. Jare wong nggersik : Kok nyimut. Tunggu bae sampek lumuten.

0 komentar:

Powered By Blogger

  © Blogger template 'Grease' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP