19 April 2008

PERKOSAAN BERALAS DERITA

Seorang gadis berkulit bersih perawakan kurus pagi itu duduk tercenung di ruang tamu rumahnya. Dengan mulut yang selalu terbuka dan mata menerawang tak tentu arah khas seorang penderita cacat mental. Kadang tertunduk kadang tengadah. Tangan kirinya selalu terbengkok ke dalam mulai pergelangan juga kaki kanannya menggambarkan cacat fisik yang harus dijalani. Sedari tadi dia tak sedikitpun beringsut dari duduknya karena untuk bergerak apalagi berjalan ia selalu membutuhkan pertolongan ibunya.

Rumah bercat biru kusam itu berdinding triplek, berlantai tanah, jendela nako berkarat dan hilang satu kacanya. Perabotan di ruang tamu tinggal kursi tamu dengan kain jok coklat muda yang beberapa bagian kehilangan bulu tipisnya. Lebih kedalam hanya didapati satu almari pakaian untuk sekat kamar tidur dan satu amben dengan kasur yang tipis. Keadaan yang menggambarkan kepapaan nyata. Terbayang betapa teganya pelaku melakukan penistaan di atas alas kemiskinan ini.

Dialah Cantik (bukan nama sebenarnya) gadis yang tertimpa kemalangan hidup bertumpuk-tumpuk, terus menerus di hampir seluruh hidupnya. Terlahir sehat dari rahim Painem (nama samaran), seorang ibu dari keluarga petani miskin. “Waktu lahir sehat ditolong dukun bayi desa”, ujar Painem. Di desanya di Kec. Benjeng Kab Gresik hanya menyisakan satu dukun bayi, dialah yang menolong kelahiran Cantik kecil.

Ayah Cantik hanya seorang buruh tani yang menggantungkan hidupnya dari pemilik sawah di desanya. Kalau pas musim tanam atau musim panen memang ada padi yang bisa dibawa pulang. Saking miskinnya Cantik kecil tak terurus dengan semestinya. Dengan asupan makan seadanya menjadikan dirinya didera gizi buruk. Kesehatannya yang tak terurus membuatnya cacat mental dan fisik.

Kesibukan orang tuanya yang harus bertarung melawan kemiskinan membuatnya sering ditinggal sendirian di rumah. Tanpa pergaulan, tanpa teman bicara menjerumuskannya dalam dunia tanpa kata. Nyaris tidak mengenal kata-kata kecuali yang diucapkan ibunya tanpa bisa meniru. “Ia mengalami retardasi mental dimana kemampuan otaknya tidak tumbuh sempurna”, kata Dra Dwi Rejeki Endang Haniwati, MSi. Ia mengalami kesulitan berpikir, tak sanggup mencerna proses belajar. Keadaan ini membuatnya kehilangan kesempatan belajar. Jangankan sekolah untuk berbicara saja ia tak mampu. Masa kanak-kanaknya dilalui tanpa mengenal sekolah, teman, guru, dan nyontek.

Cantik tumbuh remaja sekalipun tanpa tahu arti jadi remaja, tanpa masa puber apalagi perasaan cemburu. Di usianya yang ke-23 mendadak petaka itu datang begitu saja. Tanggal 3 Desember 2005 ia mual-mual, ibunya membawa ke seorang bidan desa. Ibunya menganggap Cantik masuk angin atau sakit ringan sejenisnya. Tapi bidan desa melakukan tes urine. Insting bidan itu benar, Cantik dinyatakan hamil.

Keluarga ibu Painem geger. Bagaimana mungkin gadis cacat fisik dan mental itu sampai hamil. Tak pernah bayangan itu mampir walau sejenak. Rembug keluarga digelar. Tak tahu apa yang mesti diperbuat keluarga itu mengendapkan masalah sambil menunggu kedatangan kakaknya yang kerja di Kalimantan. Tanggal 25 Desember keluarganya membawa Cantik ke bidan lagi. Setelah diperiksa dan melakukan tes bidan itu mengeluarkan pernyataan bahwa Cantik positif hamil.

Mulailah keluarga mengorek keterangan siapa pelaku yang tega menghamili gadis malang tersebut. Dengan berbagai cara ditempuh untuk menyampaikan pertanyaan pada Cantik selaku korban. Berkomunikasi dengan penderita cacat mental sangat menguras kesabaran. Tak urung keluarga ikut memeragakan adegan yang mungkin bisa dimengerti korban. Keluarga juga menunjuk rumah-rumah tetangganya. Ini dimaksudkan kalau mungkin Cantik mengenali rumah pelaku. Akhirnya didapat satu rumah yang dia angguki waktu ditunjuk. Tak menunggu lama kakak Cantik wadul ke Kepala Dusun dan Ketua RT setempat.

Selang 2 hari pamong dusun datang ke rumah keluarga Cantik untuk menanyai detil kejadiannya. Pamong juga menghadirkan dan menginterogasi pemuda desa yang diduga melakukan penistaan itu. Pemuda itu tentu saja mengelak dengan berbagai dalihnya. Mentah.

Tanggal 29 Desember sekali lagi dicoba kali ini di ruang dalam hanya pamong, Cantik, kakaknya, ibunya, pamannya, pemuda itu, kakaknya, dan istri kakaknya. Beberapa orang didudukkan berderet termasuk pemuda berbaju kuning itu. Cantik dipanggil untuk menunjukkan siapa pelakunya. Dia tunjuk baju kuning. Cantik diajak keluar. Deretan orang-orang duduk itu diacak. Cantik diminta menunjuk. Masih baju kuning. Diacak lagi. Tetap baju kuning. Secara intensif pamong menginterogasi lagi dan pemuda itu bersikukuh tidak bersalah. Mentah lagi.

Empat hari berselang tepatnya 2 Januari 2006 kakak Cantik menggadang kasus ini ke Polsek Benjeng. Diterima Briptu Hairil Anwar laporannya diberi nomor STPL/02/I/2006/POLSEK. Dalam laporan ditulis “Perkosaan dengan perempuan yang tidak berdaya yang mengakibatkan perempuan hamil sebagaimana dimaksud dalam pasal 287 KUHPidana”.

Esoknya dua adik Cantik yang berumur 16 tahun dan 21 tahun dipanggil ke Polsek untuk dimintai keterangan. Bagi polisi bisa saja dilakukan oleh keluarga sendiri. Keduanya tidak mengaku.

Esoknya lagi ganti ibu Cantik dipanggil polisi. Ditanyai tentang riwayat hidupnya, di rumah ada siapa saja, anaknya berapa, dan lain sebagainya. Polisi masih mencari-cari kemungkinan pelaku dengan segala probabilitas tertinggi. Semua serba kabur.

Ditunggu hingga 22 hari tak kunjung ada perkembangan. Berbekal saran dari beberapa orang keluarga Cantik melaporkan kasusnya ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Gresik. Bersepeda motor dua paman Cantik menempuh perjalanan lebih sepuluh kilometer. Mereka minta bantuan P2TP2A Gresik menangani kasusnya.

Mendengar kasusnya ditangani P2TP2A Polsek Benjeng melimpahkan perkara ke Polres Gresik. Beberapa kali polres melakukan pemeriksaan di rumah Cantik didampingi pengurus dan relawan P2TP2A.

Pagi yang damai bersaput embun di desa itu mendadak gerah. Cantik berpeluh deras sambil memegangi perut buncitnya. Erangan terdengar serak dan lirih. Keluarga Cantik tergopoh menjemput sanak saudara. Mereka tahu saat kelahiran segera menjelang. Bersama dua orang pamannya, ibunya, iparnya dan seorang sopir mereka sampai di RSUD dr Wahidin Sudiro Husodo Gresik dengan mobil carteran. Seorang darinya mengabari ke kantor P2TP2A yang bersebelahan dengan rumah sakit itu.

Berbekal surat rujukan dari kantor petugas P2TP2A menghubungi kepala bidang pelayanan dr Titik Dyah Widowati mengabarkan ada korban kekerasan yang mau melahirkan. Wajah lembut dokter itu tak sedikitpun mengurangi kecepatannya mengontak kepala ruang bersalin, tak meluluhkan ketegasannya memberikan perintah layanan. Pasien langsung ditangani.

“Kita tunggu saja setelah observasi dokter kandungan. Kelihatannya agak sulit karena kondisi fisik yag tingginya cuma 1,4 meter dan pasien tidak bisa kooperatif”, kata perawat yang menerima. Namanya juga orang cacat sama sekali tidak mengerti bagaimana memperlancar kelahiran. Cantik hanya terbengong-bengong di tempat tidur, tidak mau makan, keluhanpun tak sanggup disuarakan. Dunia tanpa kata.

Dokterpun berkesimpulan sama menunggu sampai saatnya tiba kalau-kalau terjadi kontraksi hebat untuk memperlancar kelahiran. “Bagaimanapun akan kita lakukan operasi mengingat fisik pasien yang tidak memungkinkan melahirkan secara normal, tapi kita tunggu saja barangkali ada keajaiban sehingga bisa melahirkan dengan lebih mudah”, kata dr Tony Artiatno SpOg yang menangani. Menurut dokter Tony umur kandungan Cantik baru 32 minggu artinya belum waktunya melahirkan.

Tanggal 4 Mei 2006 bayi itu lahir melalui operasi Ceasar. Kondisinya tak sebaik yang diharapkan. Mengalami kesulitan bernafas sehingga harus masuk kotak inkubator. Sedang ibunya sehat-sehat saja. Meski semua beaya operasi dan kelahiran ditanggung P2TP2A tak urung keluarga Cantik mengeluh biaya riwa-riwi dari rumah ke RS dan selama menjaga di RS.

Setelah keadaan bayi sudah cukup sehat tanggal 8 Mei 2006 mereka berpamitan untuk merawat bayi malang itu di rumah. Sampai di rumah kebingungan keluarga itu merebak. Bagaimana bayi itu dirawat sementara ibunya jelas tidak sanggup. Siapa yang bakal merawat ? Kembali rapat keluarga digelar. Ada yang mengusulkan biar bayi diserahkan ke P2TP2A saja untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Paman Cantik mencegah dan menyampaikan perasaan pakewuh telah banyak merepotkan lembaga itu. Seorang keluarga angkat tangan menyatakan sanggup merawat bayi itu. Dialah saudara ipar Cantik. Pekerjaannya serabutan. Kadang jadi buruh tani kadang membawa barang untuk dijual di pasar. Keadaan yang sama-sama tidak mencukupi. Tapi ketabahan dan tekad lebih dari cukup untuk merawat bayi itu.

Hari-hari keluarga Cantik dipenuhi kebimbangan dan kebingungan akan kelanjutan kasus yang telah dilaporkan ke polisi. Tanggal 14 Juni 2006 sepupu Cantik mendapat telepon dari P2TP2A. Hanya telepon sepupu yang bekerja di Lamongan itulah satu-satunya sarana komunikasi yang biasa dipakai berhubungan dengan P2TP2A selama ini. Via telepon itu Syaikhu Busiri Ketua Harian P2TP2A mengabarkan kalau tes DNA akan dilakukan 2 hari lagi dan diminta datang ke kantor jam 7 pagi.

Paman dan sanak saudara berkumpul sore itu juga. Mereka dimohon kerelaan mengumpulkan sebagian rejekinya untuk carter mobil. Meski sebagian terpaksa meminjam uang ke tetangga namun hari Jum’at pagi tanggal 16 Juni itu mobil berisi rombongan keluarga Cantik sudah parkir di lapangan depan kantor P2TP2A.

Mobil berangkat mengiringi rombongan pengurus P2TP2A dengan Avanza di depan. Di dalam Avanza ada Syaikhu Busiri Ketua Harian, Nur Khosiah Wakil Ketua, Endang Sintowati Kasi Pemberdayaan Perempuan Kantor KB dan PP serta Khodijah staf Sekretariat. Mereka menuju Tropical Desease Center Universitas Airlangga Surabaya setelah sebelumnya singgah di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jawa Timur jl A. Yani Surabaya.

Tes DNA berjalan mulus kecuali bayinya karena sulit diambil darahnya. Selain diambil darahnya semua yang dites DNA diambil sidik jari dan difoto. Akhirnya sang bayi dirujuk ke Laboratorium Medis. Alhamdulillah pengambilan darah selesai. Rombongan pulang hampir maghrib.

Kembali hari-hari keluarga Cantik dilalui dengan perasaan tidak menentu menunggu kepastian hasil tes DNA. Lebih dari satu setengah bulan penantian berujung deringan telepon dari kantor P2TP2A. Keluarga Cantik diminta datang ke kantor besok pagi untuk melihat hasil tes DNA.

Esok paginya dua orang paman Cantik datang naik sepeda motor. Ketua Harian P2TP2A Syaikhu Busiri dengan senyum khas kebapakan menemui mereka. Kegelisahan kedua orang itu terbaca jelas dengan cara duduk yang selalu tidak tenang. “Hasil tes DNA sudah ada dan sekarang ada di Polres sebaiknya sampeyan ke sana supaya tahu hasilnya. Setelah dari sana sampeyan mampir ke sini lagi”, ujar Syaikhu. Tanpa berlama-lama mereka meluncur ke Polres Gresik.

Siangnya mereka muncul lagi di Kantor P2TP2A dengan wajah kusut. “Hasilnya negatif. Apa tidak mungkin ada rekayasa ?”, tanya paman Cantik yang ceking dengan nada lirih. “Gak mungkin. Dokter sudah disumpah untuk selalu mengatakan hal yang sebenarnya apalagi berhadapan dengan hukum”, jawab Syaikhu. Mereka pulang dengan cara pamit yang singkat.

Entah apa yang terjadi setelahnya. Mendung agaknya belum terkuak. Misteri agaknya tetap melingkupi di keluarga itu seperti juga kemelaratan yang selama ini dirasakan.(chu)

21 Januari 2008

Ternyata kita semua sombong !

Memang sulit menghindari sifat sombong tapi lebih sulit lagi menerima dan memaklumi kesombongan orang lain ...


Bangsa kita memang masih terbelit dalam budaya ngomong, bicara dan belum sampai pada budaya tulis dan baca yang tentu saja merupakan budaya berpikir lebih maju karena lebih dapat dipertanggungjawabkan karena bersifat documented. Karena itu rapat, diskusi, seminar maupun lokakarya menjadi marak bahkan menjelma menjadi hobi bagi bangsa kita. Termasuk juga penulis yang masih sering nimbrung dalam rapat, diskusi sana-sini meskipun selalu cuma sebagai pelengkap.

Topik inipun ditulis dari pengalaman mengikuti rapat. Dan tentu saja rapat, diskusi, ngobrol maupun forum cangkrukan yang ditulis ini mulanya berlangsung sangat meriah dan gayeng karena memang sudah jadi budaya dan hobi. Namun kegayengan itu sontak berubah saat seorang peserta rapat dengan lantangnya mengatakan “Saya paham betul permasalahan ini ...bla ... bla ... bla ...”. Begitu peserta itu berhenti peserta lain mengkritik pedas dengan mengatakan “Anda tidak patut mengatakan paham yang seakan-akan semua peserta rapat tidak banyak tahu, itu menunjukkan kesombongan. Saya saja yang punya jabatan sebagai tokoh kampung tidak pernah menceritakan pada saudara saya. Jadi berhati-hatilah”. Sementara yang lain mengatakan “Kalimat itu menunjukkan kesombongan Anda karena meremehkan peserta rapat yang lain”. Lalu peserta lain saling bersahutan dengan penilaian masing-masing.

Bersyukurlah pemimpin rapat segera menengahi. Bahwa yang semestinya dicermati dalam rapat adalah substansi dari apa yang dikatakan peserta rapat yang merasa paham tadi dan bukan cara ia menyampaikan dengan kalimat yang seakan-akan menjadi orang yang paling faham. “Yang mengatakan paham tadi memang terdengar sombong serasa menepuk dada sebagai satu-satunya orang yang mengerti masalah, tapi sebagai tokoh sekelas kampung dibanggakan dan disampaikan dalam rapat juga merupakan kesombongan tersendiri”, lanjutnya.

Namun jika kita mau berpikir sedikit lebih kedalam, maka yang mengatakan “Anda meremehkan peserta rapat lain” bisa mendapat awu anget sebagai sebuah kesombongan yang laten, tak kentara. Coba kita pikir jika Anda menemukan seseorang yang dirinya merasa diremehkan bukankah itu berarti dirinya merasa lebih unggul sehingga tidak mau diremehkan. Jika kita ketemu seseorang yang tidak mau disombongi bukankah itu sebuah kesombongan tersendiri ? Bukankah sikap tidak mau merasa kalah adalah sebuah kesombongan ?

Yang mungkin perlu kita sadari adalah bahwa kita selayaknya mulai memaklumi dan menerima dengan tulus jika kita mendapati orang-orang yang menyombongi kita. Apa sebenarnya keuntungan orang yang sombong ? Sama halnya pertanyaan, apa sih yang dirugikan dari kita jika kita disombongi atau diremehkan ? Kalau toh kita merasa kalah dengan kesombongan itu lalu mengapa sih kita tidak mau kalah ? Atau apakah mereka yang tidak remeh ( karena ada yang merasa diremehkan ) itu berarti menang ? Lalu apa untungnya bagi yang menang ? Dapat hadiahkah ? Atau masuk sorga ?

Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan seseorang yang mungkin kita anggap ‘keblabasan’. Tapi cara mengingatkan yang didasari karena perasaan kalah apalagi ditumpangi dengan kesombongan lain merupakan hal yang menggelikan. Kalau kita melihat seorang yang mengolok-olok kita sebagai sebuah kesalahan, lalu kita balas mengolok-olok balik, bukankah kita juga melakukan kesalahan yang sama ? Makanya Rasulullah mengajarkan kita tersenyum tanpa harus membalas kepada orang-orang yang menghinakan kita.

Jadi dari rapat itu kita bisa melihat bahwa seluruh peserta rapat sebenarnya orang-orang yang sombong. Namun jika kita mau berpikir sedikit lebih kedalam lagi, bukankah orang yang berani memaknai kesombongan menurut dirinya adalah sebuah kesombongan juga ? Seperti halnya penulis yang mencoba mengurai makna kesombongan otomatis menjadi sombong karena sudah begitu berani memaknai kesombongan sekalipun menurut versinya sendiri yang belum tentu benar. Karena kebenaran arti kesombongan itu sejatinya milik Allah. Semoga Allah menghindarkan kita dari sifat sombong dan menghindarkan kita dari keberanian menulis tentang kesombongan. Amin

Gak usah ditulis nama penulisnya, takut jadi sombong

Powered By Blogger

  © Blogger template 'Grease' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP