15 Desember 2007

Perbudakan : Masihkah berlangsung ?

Mungkin kita sudah sangat yakin kalau perbudakan memang sudah dihapuskan dari bumi. Namun kini kita mengenal istilah yang punya kesamaan dengan praktek perbudakan. Human Trafficking bisa jadi sebuah morphing dari kata perbudakan. Kata trafficking dalam kamus English Lexical Database Lite bisa berarti menukarkan barang atau jasa dengan uang. Jadi kata yang tepat memang Human Trafficking yang berarti perdagangan manusia namun orang sering menyingkatnya menjadi Trafficking saja.
Pengertian trafficking yang paling banyak dipakai saat ini adalah pengertian yang diambil dari protokol PBB. Dalam protokol ini pengertian trafficking ialah: perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi dapat meliputi, paling tidak, adalah: Pertama, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual. Kedua, kerja atau pelayanan paksa. Ketiga, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan. Keempat, penghambaan. Kelima, pengambilan organ-organ tubuh.
Karena itu dalam protokol tersebut dinyatakan keharusan anggota untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku Trafficking –biasa disebut Trafficker- terhadap manusia, khususnya perempuan dan anak (selanjutnya disebut Protokol Trafficking).
Memang tidak ada negara yang kebal terhadap perdagangan manusia. Namun kenyataan yang mungkin luput dari perhatian kita adalah betapa besarnya “prestasi” human trafficking yang terjadi di dunia ini. Menurut Laporan Mengenai Perdagangan Manusia, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 14 Juni 2004 setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional. Para korban dipaksa bekerja di tambang-tambang dan tempat kerja buruh berupah rendah, di tanah pertanian sebagai pelayan rumah, sebagai prajurit di bawah umur dan dalam banyak bentuk perbudakan di luar kemauan mereka.
Kita dapat mencermati juga Laporan Asian Development Bank yang menyatakan paling tidak sebanyak satu sampai dua juta jiwa diestimasi telah diperjualbelikan setiap tahun di seluruh dunia. Sebagian besar penjualan orang berasal dari negara miskin. 150.000 dari Negara Asia Barat dan 225.000 dari Negara Asia Tenggara.
Laporan dari pemerintahan AS memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari para korban yang diperdagangkan secara internasional diperjual-belikan untuk eksploitasi seksual. Menurut PBB, perdagangan manusia ini adalah sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan sekitar 9,5 juta USD dalam pajak tahunan menurut intelijen AS. Perdagangan manusia juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang paling menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang (money laundring) perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen dan penyeludupan manusia.
Dalam Laporan Unicef tahun 1998 diperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan di Indonesia mencapai 40.000 s/d 70.000 anak tersebar di 75.106 tempat di seluruh wilayah Indonesia. Sebuah dokumen, yakni Trafficking in Person Report yang diterbitkan oleh Deplu AS dan ESCAP juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Negara dalam peringkat tersebut dikategorikan sebagai negara yang memiliki korban dalam jumlah yang besar dan pemerintahnya belum sepenuhnya menerapkan standar minimum serta belum melakukan usaha-usaha yang berarti dalam memenuhi standar pencegahan dan penanggulangan trafficking.
Di samping itu, dalam buku Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, 2005 dinyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah sumber dalam perdagangan manusia, di samping juga sebagai transit dan penerima perdagangan manusia. Dikenal sedikitnya 10 provinsi di Indonesia yang dijadikan sebagai sumber, 16 provinsi dijadikan sebagai tempat transit, dan sedikitnya 12 provinsi sebagai penerima.
Melihat kenyataan itu maka pada bulan Maret 2000 pemerintah RI memutuskan untuk meratifikasi Konvensi International Labour Organization ( Organisasi Buruh Internasional ) Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Menghapus Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Buat Anak dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000. Pada tanggal 12 Desember 2000, Indonesia ikut serta menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Organisasi Kejahatan Lintas Batas. Sebuah protokol untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak; dan Protokol Menetang Penyelundupan Migran Melalui Jalur Darat, Laut dan Udara sebagai suplemen Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Organisasi Kejahatan Lintas Batas.
Pemerintah RI kemudian melakukan berbagai kebijakan untuk mengurangi bahkan menghapuskan bentuk-bentuk kejahatan ini. Pada tahun 2002, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 dicanangkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A) serta pembentukan gugus tugas lintas sektoral untuk implementasinya. Dan akhirnya tahun 2007 ini telah ditetapkan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUU TPO) yakni Undang Undang No 12 tahun 2007.
Kini yang menjadi pertanyaan adalah adakah segala upaya yang telah dilakukan pemerintah sudah mumpuni untuk menghentikan praktek perdagangan manusia ? Siapkah para aparat penegak hukum menjadi pahlawan bagi perempuan dan anak korban human trafficking ? Atau justru mereka menjadi pelaku trafficking dengan menjual kasusnya pada para trafficker ? Semoga polisi mampu setidaknya mengurangi terjadinya tindak human trafficking meski hingga kini belum sepenuhnya mampu menghilangkan traffick jam yang kasat mata. ( Dari berbagai sumber )

13 Desember 2007

Gerak Jalan Balongpanggang - Gresik, Ada Sejarahnya !

Gerak Jalan Balongpanggang – Gresik tahun ini digelar kembali entah setelah berapa lama tidak bergerak dan tidak pula berjalan. Menurut Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kabupaten Gresik, Drs. Mighfar Syukur, MM desain acaranya berubah. Kalau dulu lebih menitik beratkan pada olah raga, maka tahun ini peserta dan penontonnya bakal dijebloskan pada suasana tempo doeloe. Ada yang berpakaian pejuang dengan senjata bambu runcing, ada yang bakal pakai sepeda kebo dan lain-lain. Acara ini bakal digelar untuk mengingat kembali sumber awal lahirnya gerak jalan. Dulunya gerak jalan memang untuk memperingati kembalinya para pejuang dari pengungsian saat agresi militer kedua pasukan Gurga sudah berakhir.
Seorang saksi mata, Muslihah istri Komandan Pasukan Sabilillah KH Syafi’ Djamhari menuturkan kepada penulis tentang cikal bakal kegiatan gerak jalan tersebut. Menurut Muslihah pasukan pribumi dari basis NU yang dikenal dengan Pasukan Sabilillah semburat ke berbagai daerah pinggiran kota Gresik begitu pasukan Gurga mulai melakukan sweeping setelah berhasil memukul mundur pasukan pribumi. Pertempuran sengit di Kota Gresik itu terjadi di pintu gerbang kota di daerah gunung Lengis. “Makanya dulu ada patung pejuang yang didirikan di sana. Gak tahu apa sekarang masih ada”, tuturnya. Gunung Lengis yang terletak di sebelah timur jalan Veteran itu dulu sering digunakan sebagai arena perkemahan pramuka terutama Persami ( Perkemahan Sabtu Minggu ) oleh gudep-gudep sekolah di Gresik sekitar tahun 70-an.
Pasukan Gurga tidak cuma menyerang dari darat tapi juga lewat kapal-kapal laut di perairan Gresik mulai dekat pelabuhan sampai pesisir telogo pojok. Mereka menembakkan meriam dari kapal. Beberapa meriam memang sempat meledak seperti di seputar jalan Raden Santri. “Wah meriam itu bisa bikin lubang selebar sumur”, kata Muslihah sambil menerawang seakan ada film yang sedang di putar persis di depannya. Tapi masih banyak yang tidak bisa meledak. Waktu kecil dulu penulis sempat melihat sosok meriam sepanjang kira-kira 2 meter terletak persis di depan Gedung Bioskop Hartatik waktu itu. Letaknya berdiri, yang muncul di permukaan tanah kira-kira 1 meter. Teman-teman kalau mau melintas bekas meriam itu biasanya sedikit berlari lalu tangannya bertumpu di ujung meriam dan kakinya mengangkang. Wush mereka melayang di atas meriam sambil mengangkang, inilah permainan anak-anak waktu itu. Beberapa teman bahkan balik lagi untuk mengulang.
Sweeping yang dilakukan pasukan Gurga dulu memang tak kenal waktu, kadang pagi, kadang siang bahkan malam hari. Karena persenjataan pasukan pribumi waktu itu cuma bambu runcing sementara Gurga bersenjata lengkap, mau tidak mau pasukan pribumi menyingkir. Ada yang ke Bungah –dulu sering disebut Bongo ( baca o seperti pada kata “soto” )-, ada yang ke Sidayu dan sebagian lagi ke Balongpanggang. Nah setelah kondisi kota dianggap aman sekitar tahun 1947-1948 itulah pasukan Sabilillah kembali memasuki kota dengan berjalan kaki dari pinggiran kota Gresik. Peristiwa kembalinya pasukan inilah yang ingin diperingati Pemerintah Kabupaten Soerabaia waktu itu dengan menggelar Gerak Jalan. Penulis masih ingat waktu itu pernah digelar Gerak Jalan Sidayu Gresik, Bungah Gresik, Cerme Gresik dan kini Balongpanggang Gresik.
KH Syafi’ Djamhari, sang komandan pasukan Sabilillah waktu itu tinggal di jalan Pendidikan ( kini Jalan KH. Kholil ). Nama jalan Pendidikan memang pas karena di situ sudah berdiri HIS yang kini jadi SMPN 2, ada Madrasah Banat NU yang berada di kampung persis di depannya, dan Sekolah Asma’iyah depan stasiun Kota. Penulis gak tahu persis apa Muhammiyah juga sudah bikin sekolah di jalan itu. Kyai Syafi’ menempati rumah yang kini jadi Jl. KH. Kholil 80. Rumah yang dinding depannya tertulis kata “GRISEE” itu hingga kini dipertahankan bentuknya. Rumahnya bersebelahan dengan rumah mertuanya, H. Alwi Fatah, seorang juragan pabrik kulit. Banyak kyai di Gresik berasal dari keluarga miskin tapi diambil menantu orang-orang kaya.
Kekayaan H. Alwi Fatah cukup menonjol waktu itu. Jaman perjuangan beliau sudah punya pesawat radio yang sering dibawa keluar rumah untuk mendengar pidato Pak Karno bersama warga sekitar. “Wah dulu orang-orang memilih menghentikan kerja untuk mendengar pidato Pak Karno”, kata Muslihah dengan mimik sumringah mengenang presiden yang legendaris itu. Untuk mengatisipasi resiko yang mungkin terjadi pada menantunya, H. Alwi Fatah sudah merancang pintu-pintu tembusan sampai gang belakang yang bisa langsung akses ke laut. Maklum rumahnya cukup besar sampai gang belakang, kira-kita tujuh puluh meter panjangnya. Jadi kalau terjadi sergapan Kyai Syafi’ bisa menyenilap langsung ke laut dan melarikan diri dengan perahu.
Namun Allah menentukan lain. Suatu saat masih dalam masa pengungsian Kyai Syafi’ menyelinap masuk kota untuk mencari informasi, koordinasi dan menyerap laporan dari informan-informan yang masih bertugas. Di malam senyap, malam yang terasa lebih dingin dari udara biasanya, oblik (lampu minyak) yang nyalanya lebih redup dari malam sebelumnya, datang segerombolan Pasukan Gurga menggedor pintu rumah pejuang itu. Begitu pintu dibuka, seorang Londo –istilah Muslihah untuk penjajah- langsung menerobos rumah dan mengumpulkan semua laki-laki di rumah itu. H. Alwi Fatah, Kyai Syafi’ dan KH. Muhamad -kakak H. Alwi- dibariskan. Seorang laki-laki pribumi dipanggil yang ternyata dia adalah murid sekaligus porang (istilah Gresik untuk tukang) Kyai Syafi’ sendiri.
“Mana yang Syafi’ ?”, tanya Londo pada pribumi penghianat itu dengan kalimat kagoknya. Penghianat itu menuding tanpa rasa bersalah. Londo itu menarik tangan Kyai Muda itu. Pejuang itu berontak minta waktu untuk berpakaian yang waktu itu cuma pakai sarung dan singlet. Tapi Londo itu minta KH. Muhammad yang mengambilkan pakaian di kamar. Beruntung beliau cukup teliti untuk mengeluarkan isi kantong baju. Padahal kantong baju yang dipakai saat pulang dari pengungsian tadi berisi banyak surat titipan dari teman-teman seperjuangan baik untuk keluarga di Gresik maupun beberapa teman seperjuangan. Kyai Syafi’ langsung digelandang meninggalkan sejuta kegalauan perasaan keluarganya. Muslihah menangis sambil mendekap dan mengelus kepala putra satu-satunya. “Masya Allah kamu kini yatim anakku”, bisiknya dengan derai air mata yang tak terbendung. KH. Muhammad dan H. Alwi terpekur tak mampu berbuat apa-apa. Sambil menghela nafas H. Alwi berbisik, “Memang sudah takdir, meskipun kita sudah menyiapkan pintu rahasia toh ketangkap juga”. Malam itu seluruh rumah tidak bisa tidur. KH. Muhammad minta semua penghuni berdo’a secara khusus untuk keselamatan pejuang yang ihlash itu. Keihlashan itu penulis ketahui setelah beliau diundang KODIM untuk dikonfirmasi keberadaan beliau agar pemerintah dapat memberikan penghargaan yang waktu itu berupa uang pensiun bagi veteran. “Sudahlah perjuangan tidak perlu harus diakui. Cukup Allah saja yang tahu, aku gak datang”, jawabnya.
Hari kedua sejak penculikan itu tidak ada kabar secuilpun. Penghuni rumah masih terus melafalkan kalimat do’a, sholat hajat dan amalan-amalan lain selain memasrahkan diri pada Ilahi agar melindungi pejuang muda yang masih 27 tahun itu. Pejuang tanpa pamrih yang dihianati santri sekaligus anak buahnya sendiri. Dunia tidak selalu berpihak pada kebaikan, kemuliaan bahkan ketaqwaan seseorang.
Sore itu mentari serasa hangat menaburkan cahaya menyemai semangat dan warna jingga merona dekat ufuk. Sudah ketiga kalinya matahari berada di ufuk barat sejak penculikan. Pejuang itu melangkah gontai dengan memanggul sejuta rasa perih, kelelahan dan sakit yang tak pernah dilupakan sepanjang hayatnya. Rumahnya berjarak setengah kilometer dari penjara. Pejuang itu disiksa dan dikrangkeng di belakang tangsi Londo yang kini jadi Kantor Telkom Gresik. Tepatnya kira-kira di belakang Rumah Dinas Sekretaris Daerah sekarang.
Tak urung hujan tangis meledak mengawali rasa syukur yang meluap. Rumah besar itu serasa bersyujud mensyukuri kembalinya sang pejuang. “Insya Allah kamu tidak yatim lagi”, bisik Muslihah pada anaknya. Dan memang pejuang itu melanjutkan perjuangan dengan memberinya 15 anak berikutnya. Syukurlah, seandainya pejuang itu tidak kembali, mungkin tulisan inipun tidak bakal terbit. Selamat Berjuang.

Powered By Blogger

  © Blogger template 'Grease' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP